Minggu, 08 Februari 2015

Perang Bulangkait: Tauladan Kaya Makna dari Gusti Panji

Dirangkum dari berbagai sumber “Perang Bulangkait” disajikan kepada pembaca yang budiman. Buka sejarah nasional menulisnya Perang Belangkait, nama itu diambil dari ranjau darat Kerajaan Simpang Matan, bulang yang mengait dan melukai kaki penginjaknya.

Menyusuri sungai Simpang, adalah sebuah perjalanan yang menghanyutkan. Bermula dari muara di Teluk Melano hingga ke hulu, di kiri kanan masih rimbun dengan pepohonan. Berkelok-kelok airnya yang tenang seakan menyampaikan pesan bahwa tempo hari di hulu sungai ini dahulu pernah berdiri sebuah kerajaan yang bermula dari kerajaan Matan berpusat di Matan. Kemudian berpindah ke hilir di persimpangan Sungai Matan dan Lubuk Batu, berganti nama menjadi Kerajaan Simpang (atau sebagian menyebutnya Kerajaan Simpang Matan).

Ketika tiba di persimpangan yang membelah sungai menjadi dua, yakni Sungai Simpang dan Sungai Lubuk Batu, sebuah daratan berupa tanjung masih berdiri dengan anggun. Gemerisik rimbun dedaunan seakan mengabarkan di sini dahulu Gusti Panji, Raja Kerajaan Simpang yang terakhir bersama dengan panglima, temenggung, hulubalang, dan, kepala kampung, dan rakyat berjuang melawan Belanda. Mereka berjuang menolak penjajahan yang akan dilakukan Belanda.

Kerajaan Simpang bermula dengan Raja Gusti Asma, yang memboyong pemerintahan dan ibukota kerajaan Matan ke daerah yang baru. Yakni, di Simpang (Simpang Bujang Koreng), kemudian digantikan oleh Gusti Mahmud. Estafet kepemimpinan Kerajaan Simpang berikutnya dipegang oleh Gusti Moehammad Roem, yang selanjutnya digantikan oleh anandanya Gusti Panji.

Pada Masa pemerintahan Gusti Asma (bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin), VOC di Batavia (syarikat dagang Belanda di Indonesia) mengirim William Adrian Palm (dalam dialek Melayu menjadi Ajidan) bermaksud meminjam tanah di Pontianak kepada Gusti Asma melalui surat yang dikirim oleh Syarif Abdurrahman guna membangun kantor dagangnya di sana.

Dalam balasan suratnya Sultan Muhammad Jamaluddin meminjamkan tanah seluas 1000 m2 dengan sewa perbulannya sebesar ƒ250. Huruf “f” atau “fl” merupakan simbol mata uang Kerajaan Belanda, Gulden. Sebelum memakai istilah Gulden yang artinya emas, pemerintah Belanda menyebut Florin, satu di antara pembuatan koin mata uangnya. Kerajaan Belanda saat ini menggunakan mata uang bersama negara-negara Eropa, bernama Euro.

Dalam perjanjian sewa-menyewa itu, apabila Ajidan (Adrian) pulang ke Belanda, maka tanah itu harus dikembalikan kepada Kerajaan Simpang. Kemudian Ajidan (Adrian) diantar Syarif Kasim menghadap Sultan Muhammad Jamaluddin di Simpang-Matan. Tahun 1779 Kantor Dagang VOC didirikan di Pontianak.

Sebelumnya, pada tahun 1771 Syarif Abdurachman Alqadrie mendirikan pemukiman di Pontianak setelah mendapat restu dari Sultan Jamaluddin, dan tahun 1778 menyatakan dirinya sebagai Sultan Kerajaan Pontianak (Gst. Mulia, 2007).

Sampai pada pergantian kepemimpinan dari Gusti Asma kepada Gusti Mahmud (raja ke-2) dan berlanjut kepada Gusti Moehammad Roem (raja ke-3) praktis tidak ada catatan hubungan antara VOC dan Kerajaan Simpang yang berarti. Sebab, VOC didirikan 20 Maret 1602 akhirnya dibubarkan pemerintah Belanda pada 17 Maret 1798.

Barulah pada masa khidmat (pelayanan) Gusti Panji, raja keempat Kerajaan Simang, upaya Belanda untuk berkuasa atas Negeri Simpang dimulai dengan surat berita kematian Raja Willem III dari Gubernur Jendral Belanda Mr Cornelis Pijnacker Hordijn (1889-1893) tertanggal 14 Januari 1891 kepada Panembahan Suryaningrat (gelar Gusti Panji).

Berikutnya Belanda pun menyampaikan draf perjanjian Kontrak Pendek (Korte Verkelaring) kepada Kerajaan Simpang melalui Gusti Panji. Isi dari draf kontrak pendek tersebut adalah kewajiban Kerajaan dan Rakyat Simpang untuk membayar pajak (belasting) kepada Belanda.

Untungnya, Gusti Panji tak lagi percaya bahwa tawaran dari Belanda merupakan kerjasama yang saling menguntungkan. Perjanjian sebelumnya, Belanda meminjam tanah di sekitar Sukadana untuk dijadikan markas memberantas bajak laut (lanon). Pada kenyataannya, di sana dibangun tangsi-tangsi militer, dan Belanda menempatkan balatentaranya untuk mengontrol daerah sekitarnya termasuk Simpang. Maka dari itu, Gusti Panji menolak menandatangani kontrak pendek yang ditawarkan Belanda.

Akibat penolakan Gusti Panji itu, Belanda menjadi murka. Upaya penangkapan yang dilakukan terhadap Gusti Panji tak membuahkan hasil. Hubungan Belanda dan Kerajaan Simpang menjadi tegang. Dengan serakah Belanda melakukan pemungutan pajak secara langsung kepada rakyat Simpang. Perlawanan dilakukan oleh Gusti Panji bersama rakyat Simpang terhadap Belanda, kemudian dikenal dengan Perang Bulangkait (sebagian menyebutnya Belangkait).

Bulang adalah sejenis pohon hutan yang mempunyai duri (onak) cukup besar dan melengkung (berkait). Duri-duri ini kemudian dioles ipuh (sejenis racun) lalu dipasang dijalan yang bakal dilewati tentara Belanda. Terbukti, siasat ini mampu membendung laju gerak tentara Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap. Ranjau darat khas Kerajaan Simpang ini dapat membunuh orang yang terjerat kakinya, kalau tidak lekas diobati anti racun dan antibiotik supaya kakinya tidak tetanus. Kalau sudah tetatus, kakinya bisa diamputasi.

Walaupun dengan persenjataan seadanya, Gusti Panji terus mengobarkan semangat juang kepada segenap rakyatnya. Tiada kata menyerah tertanam dalam benak sanubari pejuang-pejuang Simpang. Bahkan seorang Patih Ki Anjang Samad mempunyai semboyan, “Daripada membayar belasting kepada Belanda, lebih baik mati”.

Tokoh pejuang lainnya adalah pengawal setia Ki Anjang Samad bernama Muk Rebi.

Bersamaan dengan Perang Bulangkait, di pedalaman Ketapang juga terjadi Perang perlawanan rakyat Tumbang Titi terhadap Belanda dipimpin Uti Usman. Perang ini kemudian bernama Perang Tumbang Titi.

Merasa senasib dan masih mempunyai hubungan darah dengan kerajaan Simpang, Uti Usman mengutus sebagian pasukannya untuk membantu Kerajaan Simpang dalam Perang Bulangkait. Tersebutlah Panglima Ropa, Panglima Enteki, Panglima Ida, Panglima Gani, Panglima Etol, dan Panglima Gecok.

Setelah mendapat bantuan pasukan dari Tumbang Titi, semangat pejuang Simpang semakin membara. Mereka melakukan penyerbuan ke tangsi Belanda di Sukadana. Setibanya di Sukadana, rupanya tentara Belanda baru saja berangkat melakukan penyerangan ke Tumbang Titi. Maka kembalilah para Pejuang Simpang ke Tanah Simpang, menunggu dan bersiap-siap akan datangnya serangan dari Belanda.

Tak berapa lama, pasukan Belanda kembali ke tanah Simpang dengan kekuatan penuh. Dalam pertempuran tersebut, Ki Anjang Samad, Patih Kerajaan Simpang yang gagah berani gugur tertembak peluru Belanda. Gugur sebagai pejuang dan pahlawan bagi negerinya. Berikut kelima panglima juga ditangkap dan ditawan Belanda serta dipenjarakan di Sukadana.

Walaupun beberapa pejuang telah gugur demi membela tanah Simpang, perlawanan tak jua padam. Belanda akhirnya frustrasi, kemudian mencoba dengan cara yang lain. Belanda mendatangi Gusti Roem yang tak lain adalah adik dari Gusti Panji, untuk menerima tawaran menjadi Panembahan Simpang dengan ancaman.

Ancaman itu, apabila menolak, Belanda akan menghapuskan Kerajaan Simpang dari peta dunia dan menjadikan wilayah Kerajaan Simpang sebagai bagian dari Kerajaan Sukadana.

Sebuah pilihan yang sulit bagi Gusti Roem. Kekhawatiran akan berakhirnya Kerajaan Simpang menjadikannya harus menerima tawaran Belanda dengan mendirikan pusat kerajaan baru di Teluk Melano pada tahun 1912.

Pukulan yang tak kalah telak dirasakan oleh Gusti Panji di Simpang. Adiknya Gusti Roem dalam “sandera” Belanda. Ia harus merelakan semua perjuangan yang telah dikobarkan selama ini demi persaudaraan. Dengan bijak Gusti Panji menahan diri. Sebuah pelajaran yang tinggi dicontohkan oleh seorang Pemimpin Negeri.

Perang Bulangkait akhirnya berhenti setahun setelah Gusti Roem dinobatkan sebagai Panembahan Simpang di Teluk Melano, tepatnya tahun 1913. Beliau tetap tinggal di Simpang bersama sebagian rakyat yang setia di Negeri Simpang hingga menghembuskan nafas terakhir pada tahun 1920.

Beliau dikebumikan di dekat istananya di Negeri Simpang. Sebuah pusara kaya makna dan tauladan. Anggun berwibawa ditengah rimbunnya hutan. Tak jauh dari makam beliau, Meriam Bujang Koreng setia mematung. Sebuah meriam yang melambangkan kesetiaan dan perjuangan Rakyat Simpang. (ISYA)

sumber : www.wartakayong.wordpress.com

1 komentar: