Minggu, 08 Februari 2015

KISAH KEPAHLAWANAN BUJANG KEREPEK

Kerut di wajahnya menunjukkan, dia tidaklah muda lagi. Rambutnya telah memutih. Umurnya sudah 82 tahun. Bicaranya gemetar. Langkahnya tak selincah dulu, kendati masih kuat berjalan. Pahit manisnya kehidupan, telah Ia rasakan. Bahkan sempat merasakan bagaimana kekejaman Jepang sejak menguasai Indonesia, hingga ke Tanah Simpang. Mendengarkan ceritanya, membuat bulu kuduk kita merinding.

Sehari-harinya, meracik jamu dan menjualnya kepada pelanggan dan orang-orang yang membutuhkan. Saat WK ke rumahnya, dia sedang menjemur ramuan jamu di teras rumahnya. Dengan ramah beliau menyapa. Ia sosok yang ramah dan senang bergaul.

Saat muda dulu jadi dukun beranak (bidan kampung). Karenanya, dia ahli dalam meracik obat-obat tradisional. Banyak ibu dan bayi yang lahir dengan selamat, berkat hasil bidanannya. Saat ini, pekerjaan tersebut tidak dilakoninya lagi. Mengingat, usianya telah tua dan tak kuat lagi. Lagi pula, sekarang bidan, perawat dan dokter sudah banyak. Dulu, sulit ditemukan. Dukun beranak, dukun kampung, dan ustadzlah yang menjadi andalan masyarakat.

Dia adalah anak kedua, dari tujuh bersaudara. Dialah Hajah Hasiah. Merupakan anak kandung Bujang Brahim bin Jalil, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Bujang Kerepek.

Panggilan ‘Bujang Kerepek’, merupakan panggilan akrab orang-orang Tionghaa padanya. Sebab, dia pernah berjualan kerepek pada tauke (bos, red) Tionghoa. Sapaan itu melekat hingga akhir hayatnya. Dan orang-orang lebih mengenal namanya Bujang Kerepek, ketimbang Bujang Brahim.

Bujang Kerepek memiliki dua istri. Istri pertama Normah dikarunia empat anak, yaitu Ipah, Ijah, Kuntang, dan Katoi. Semua anak almarhum dari istri pertama telah meninggal. Sedangkan istri keduanya Penoh, dikaruniai tujuh orang anak. Lima laki-laki dan dua perempuan. Yaitu Abu Kasim Bar, Hasiah, Idah, Saba, Sabri, dan Beran. Anak dari istri kedua ini, yang tersisa hanya dua orang saja. Yaitu, Hajah Hasiah dan Idah.

Jumat, 2 Januari 2015, WK mencoba menyambangi rumah kediaman Hajah Hasiah. Tepatnya di Dusun Sepakat Jaya, Desa Rantau Panjang, Kecamatan Simpang Hilir. Tujuan WK tak lain, ingin menggali cerita atau sejarah Bujang Kerepek. Sejak 70 tahun yang silam, dia meninggal di tangan Kempetai (polisi militer) Jepang.

Wanita kelahiran 1932 ini, berkisah banyak tentang sejarah ayahandanya, Bujang Kerepek. Mulai dari kehidupan keluarganya dulu, keseharian Bujang Kerepek, hingga ditangkap dan dibunuh Jepang.


Bujang Kerepek merupakan pejuang asal Tanah Simpang (Tanjungpura), yang menjadi korban tentara pendudukan Jepang tahun 1944. Makam Juang Mandor Kabupaten Landak, menjadi tempat pesemayaman terakhir Bujang Kerepek. “Hukuman Pancung” adalah sebab kematian putra terbaik asal Rantau Panjang, Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong Utara sekarang.

Sebetulnya Bujang Kerepek rakyat biasa saja. Bukan dari kalangan kerabat keraton atau konglomerat. Tapi karena kedekatannya dengan keluarga istana dan Raja Simpang dan aktivitasnya di masyarakat, menyebabkan dia menjadi target Kempetai Jepang.

Menurut catatan sejarah pendudukan Jepang di Kalbar, pembantai massal di Mandor terjadi pada tanggal 28 Juni 1944. Aksi penangkapan terhadap cendikia Kalbar dimulai September 1943, hingga awal 1944. Target Jepang 50 ribu putra terbaik Kalbar akan dibunuh. Namun yang tertangkap dan menjadi korban kebiadaban Jepang, diduga hanya 21.037 jiwa.

Target awal Jepang hanyalah menangkap kaum cendikiawan saja. Namun yang terjadi tidak hanya kaum cendikia, namun kaum feodal dan rakyat jelata juga menjadi korbannya. Korban berasal dari puak Melayu, Dayak, Tionghoa maupun puak lainnya.

Tujuan Jepang, selain memberantas orang yang dianggapnya pemberontak, juga ingin men-Jepangkan generasi muda, sebagaimana doktrin Jenderal Hideko Toyo. Diharapkan generasi berikutnya akan tunduk dan patuh di bawah bendera matahari terbit. Peristiwa ini sering disebut dengan ‘Tragedi Mandor Berdarah’.

Karena Jepang mengetahui akan adanya perlawanan masyarakat Kalbar, yang bertujuan melepaskan diri dari ikatan penjajah. Maka, Jepang langsung melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang dianggap sebagai otak pemberontakan. Sebab itu, para tokoh masyarakat dan pemuda ditangkap dibawa ke Mandor, sebagai tempat eksekusi terakhir. Kemudian, mereka dipancung di sana.

Menurut Hasiah, saat bapaknya ditangkap oleh antek-antek Jepang, usianya sekitar sebelas tahun. Dia ingat betul siapa saja yang menangkap ayahnya. Namun ini tak perlu dipaparkan. Sebab yang menangkap ayahnya adalah orang-orang pribumi yang mengabdikan dirinya pada Jepang. Garis keturunan orang-orang tersebut masih ada banyak. Ini hanya untuk menutupi aib dan menjaga silaturrahim saja.

Dari penuturan Mak Ngah Siah, sapaan akrab Hajah Hasiah. Ayahnya adalah seorang yang berjiwa sosial tinggi. Kepeduliannya terhadap sesama tak diragukan. Saat masyarakat membutuhkan bantuannya, Bujang Kerepek tak segan-segan membantu. Baik membutuhkan bahan-bahan untuk keperluan hidup masyarakat, maupun membutuhkan tenaga dan pikirannya.

Ketika itu, beras, garam, minyak tanah dan lain-lain merupakan barang langka. Seperti minyak tanah misalnya. Untuk menghidupkan pelita (lentera) pada malam hari saja, masyarakat menggunakan minyak lemak (minyak makan). Itupun tak selamanya tersedia. Sedangkan minyak tanah tidak tersedia. Hanya kalangan tertentu saja yang mendapat jatah minyak tanah. Terutama, kaki tangan Jepang.

Demikian juga dengan garam. Untuk pembodahan kepada masyarakat pribumi, Jepang melarang dan menjegal peredaran garam. Sehingga orang-orang pada masa itu, menggunakan garam nipah sebagai bumbu masakan. Karena, tanpa garam, makan jadi tidak berselera. Ini berpengaruh terhadap melemahnya energi tubuh dan psikologi seseorang.

Masyarakat sulit berusaha. Saban hari, warga dihantui rasa takut pada Jepang dan antek-anteknya. Sebab, sewaktu-waktu mereka bisa saja datang dan menjemput paksa penduduk. Imbasnya pemenuhan kebutuhan pokok, seperti beras, sulit sekali. Karena, tak banyak orang yang bisa berladang (menanam padi).

Tak ayal, karuk (gaplek) atau ubi yang dikeringan, menjadi makanan pokok masyarakat saat itu. Jika ada randau ubi pun, merupakan makanan istimewa. Randau ubi, ialah nasi dengan campuran sangsang (parutan) ubi kayu. Makanan ini, menjadi makanan berkelas kala itu.

Dalam kondisi inilah, Bujang Kerepek mengambil peran dalam masyarakat. Dia merupakan penyedia jasa, untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Ketika masyarakat perlu padi, beras, minyak tanah, minyak makan, bensin, pakaian dan lain-lain, malam harinya dia akan mengantarkan secara diam-diam. Jika ketahuan mata-mata Jepang, maka akan ditangkap.

Bicara soal pakaian. Saat itu, masih banyak pula warga yang tidak memiliki pakaian yang layak. Kain kepuak (terbuat dari serat kulit kayu), menjadi pakaian alternatif warga yang bernasib kurang mujur. Namun karena kepiawaian dan pergaulan luas Bujang Kerepek, pakaian bukanlah masalah. Dia menyediakan pakaian di rumahnya. Kemudian dijual ke warga dengan harga terjangkau. Kegiatan ini dikelola oleh istri tercinta.

Cerita Asi, alias Then Shien Khian, 82 tahun, tetangga Mak Ngah Siah, menerangkan Bujang Kerepek termasuk orang kreatif. Pasalnya, dia bisa mengolah getah (karet) menjadi bensin. Hasil olahannya inilah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan keluarga kerajaan. Asi sendiri, merupakan penduduk asli Rantau Panjang, keturunan Tionghoa yang mengenal betul sosok Bujang Kerepek. Karena usianya sama dengan Mak Ngah Siah.

Rupanya aktivitas Bujang Kerepek ini diketahui Jepang dari mata-matanya. Hal inilah yang menyebabkan Bujang Kerepek menjadi target operasi, dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) Kempetai Jepang. Bagi Kempetai, aktivitas seperti Bujang Kerepek berbahaya. Sebab dapat membangun kekuatan buat masyarakat. Ini tentu akan menghambat misinya untuk men-Jepangkan orang-orang pribumi serta menjadikan Asia Timur Raya di bawah kendali mereka.

Akhir tahun 1943, tepatnya sekitar Oktober. Bujang Kerepek didatangi kaki tangan dan Kempetai Jepang dari Sukadana. Tepat di rumahnya di Jongbom (perbatasan Rantau Panjang dan Teluk Melano), para antek Jepang pun beraksi di malam hari.

Seisi rumah Bujang Kerepek digeledah. Semua sudut dan tempat-tempat yang mencurigakan, tak lepas dari aksi mereka. Termasuk tempat penyimpanan pakaian dan kepok (penyimpan padi) juga digeledah. Untuk mencari penyembunyian barang-barang kebutuhan pokok milik Bujang Kerepek, penyumplai kebutuhan pokok masyarakat.

Sebelum digeledah, Bujang Kerepek dan keluarga disuruh keluar ke jalan. Polisi militer Jepang dan antek-anteknya berjumlah sekitar enam orang, langsung mengeledah. Seisi rumah Bujang Kerepek berantakan.

Setelah penggeledahan selesai, Bujang Kerepek dan keluarga dipersilakan masuk rumah. Para antek-antek Jepang tersebut tak langsung membawa Bujang Kerepek. Mereka menuju ke ibukota kerajaan di Melano. Keesokan harinya, baru mereka mampir untuk menjemput Bujang Kerepek.

Atas masukan keluarga, Bujang Kerepek sempat bersembunyi di pohon nipah belakang rumahnya. Namun karena keluarganya diancam akan dibunuh, Bujang Kerepek tak tega mendengarnya. Dia tak mau keluarganya yang jadi korban. Akhirnya dia keluar dari persembunyian yang berjarak sekitar 50 meter saja di belakang rumahnya.

Dengan bahasa tipuan, Bujang Kerepek diajak jalan-jalan ke Sukadana. Tak perlu membawa pakaian, karena ke Sukadana tak akan lama. Hanya jalan-jalan saja, setelah itu, akan diantar pulang lagi. Dengan berat hati dan diiringi isak tangis keluarga, Bujang Kerepek dibawa ke Sukadana. Setelah itu, dia tak pernah kembali lagi.

Di Rantau Panjang, bukan hanya Bujang Kerepek saja yang ditangkap. Saudaranya Dolah, sopir Gusti Roem juga ikut ditangkap dan dibawa kaki tangan Jepang. Selain Bujang Kerepek dan Dolah, Jepang juga menangkap Gusti Mesir, Gusti Tawi, Gusti Roem, Gusti Umar, dan Tengku Ajung (menantu Gusti Roem). Namun, cerita Dolah dan keluarga kerajaan tak kita bahas terlalu dalam disini. Agar fokus, kita konsentrasi ke cerita Bujang Kerepek dulu.

Sempat beberapa kali keluarga mengantar makanan dan pakaian Bujang Kerepek di tahanannya (Sukadana). Namun itu tak berlangsung lama. Setelah itu, Bujang Kerepek dan tawanan lain dibawa ke Ketapang. Rupanya, Sukadana menjadi tempat terakhir keluarga berjumpa Bujang Kerepek.

Selang beberapa bulan kemudian. Sekitar awal tahun 1944, iring-iringan truk Jepang dari Ketapang, melintasi Rantau Panjang menuju Melano. Membawa orang-orang yang disungkup (ditutup kepalanya) dengan karung dan tangan terikat. Sulit dikenal, siapa saja yang disungkup tersebut. Apalagi jumlahnya banyak.

Di pelabuhan Teluk Melano, orang-orang tersebut langsung dinaikkan ke atas kapal. Kemudian dibawa menuju ke Mandor. Satu dari ratusan orang tersebut, adalah Bujang Kerepek. Namun pihak keluarga tak bisa ketemu korban. Karena, para tawanan dikawal ketat Kempetai Jepang bersenjata lengkap. Padahal, jumlah Kempetai Jepang saat itu, hanya dua orang saja. Tapi antek-anteknya banyak.

Menurut wanita yang telah naik haji tahun 2011 ini, ibundanya Penoh dan mereka tinggal pasrah dan tawakal saja. Hati kecil mereka berharap, suatu saat, ayahanda mereka akan kembali. Namun, penantian mereka tak kunjung datang. Ayahanda mereka tak pernah kembali lagi.

Setelah pembantaian masaal, 22 Juni 1944 di Mandor, tentara Jepang sempat datang ke rumah Bujang Kerepek. Mengantarkan uang, makanan dan pakaian untuk kebutuhan keluarganya. Hasiah menyebutnya, uang pangsiun (pensiun, red). Sedangkan dalam menyebut tentara Jepang, dengan sebutan Tentara Jumbo. Disebut Tentara Jumbo, karena tentara Jepang menggunakan sepatu bot tinggi. Merupakan pakaian seragam tentara Jepang saat itu. Dan tentara tersebut naik ke rumah mereka tanpa melepas sepatu.

Saat Tentara Jumbo datang, Hasiah dan Idah langsung memeluk betis kiri-kanan Tuan Jumbo dengan isak tangis. Menanyakan dimana ayah mereka. Sambil menyerahkan bantuan uang, makanan, dan pakaian. Tuan Jumbo hanya bilang, “Kalian harus ikhlas melepaskan ayah dan suami ibu kalian, karena beliau sudah tenang di surga bersama Tuhan.”

Penoh dan anak-anaknya hanya bisa menagis. Meratapi nasib mereka sepeninggalan kepala keluarga mereka. Sedangkan Penoh, ibunda Hasiah, dalam keadaan mengandung anak bungsunya, Beran. Siapa lagi yang akan jadi tulang punggung keluarga. Abu Kasim Bar, anak lelaki sulung mereka belum dapat diandalkan. Sebab usianya saat itu sekitar 12 tahun.

Bantuan dari Jepang ketika itu selalu ada saban bulannya. Namun setelah Hasiah menikah, bantuan tersebut tidak pernah muncul lagi. Sejak Jepang kalah perang dan menyerah tanpa syarat dengan tentara Sekutu, mereka pun meninggalkan Indonesia. Seiring diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada 17 Agustus 1945, kondisi Indonesia belum stabil. Sejak itulah, uang pangsiun Bujang Kerepek tak pernah diterima keluarga lagi.

Tanggal 28 Juni 1996, Duta Besar (Dubes) Jepang untuk Indonesia pernah datang ke Mandor, menghadiri upacara peringatan Mandor Berdarah. Melalui Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalbar, Dubes Jepang meminta maaf kepada seluruh rakyat Kalbar, terutama kepada keluarga korban perang mereka dulu.

Didampingi JICA (Badan Kerjasama Internasional Jepang) dan wartawan, Dubes Jepang Takao Kawakami, berjanji akan memberikan bantuan kepada Pemprov Kalbar, terutama buat ahli waris korban perang mereka. Program ini akan dikawal JICA. Namun sayang, bantuan tersebut tak pernah dipublis Pemprov Kalbar ketika itu. Sehingga tidak diketahui kemana rimbanya bantuan tersebut.

Pengakuan Hajah Hasiah, dia dan adiknya Idah pernah difoto wartawan bersama orang dinas pemerintah. Katanya, pengambilan gambar tersebut untuk syarat mendapatkan bantuan dari Kaisar Jepang bagi ahli waris korban Mandor. Namun, jangankan menerima dan merasakannya. Hingga hari ini, bantuan tersebut tidak mereka ketahui dalam bentuk apa.

Saatnya pemerintah memperhatikan keberadaan 21.037 jiwa, korban tentara pendudukan Jepang, mungkin gelar pahlawan adalah gelar yang pantas mereka terima. Sebutan bagi mereka sebagai ‘Perintis Kemerdekaan’ dirasa kurang layak. Namun mereka mengorbankan harta benda, bahkan nyawa mereka demi membela masyarakat dan Tanah Air. Setidaknya, nasib ahli waris yang masih tersisa, diperhatikan. Termasuk ahli waris Bujang Kerepek salah satunya.

Sebagai anak Simpang-Kayong Utara, tentu kita bangga memiliki sosok pahlawan seperti Bujang Kerepek. Perjuangan dan pengorbanannya demi masyarakat berbagai lapisan, bisa terpenuhi beras hingga pakaian layak di saat sulit pada zaman tentara pendudukan Jepang, patut kita teladani. Ini merupakan peristiwa langka.

Tak banyak orang mampu melakukan dan menghadapinya. Hanya orang-orang berjiwa pahlawan saja yang mampu melakukan itu. Tidak bagi pecundang yang selalu meraup keuntungan di balik kesulitan orang lain.

Rencananya, kisah hidup Bujang Kerepek ini akan dituangkan dalam bentuk buku. Tentu ceritanya akan lebih lengkap dan tuntas. Saat ini, kami sedang mengumpulkan bahan-bahan untuk keperluan penerbitan buku tersebut. Bagi pembaca yang mengetahui cerita dan hal-hal berhubungan dengan Bujang Kerepek, masukannya sangat dinantikan. Sehingga cerita ini menjadi lebih sempurna dan layak dibaca. (HASANAN – WK Team)

Sumber : www.wartakayong.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar